Liah Hastuti Tiang Jawi
(Tentang: Cuma cewek
biasa, berkulit hitam, rambut hitam, ada bekas knalpot di kaki kanan, saat ini
menggunakan jaket parka warna army, dan cardigan warna cyan *apalah*
*btw ini kok kayak
korban tabrak lari yang gak ada identitasnya ya?)
Lanjut ngapain ya kali
ini? Ohiya, saya lagi galau *pembaca pada kabur*. Bukan galau gimana, enggak
lah. Galau biasa. Nyatanya, kemaren tepat tanggal 14 Pebruari 2017 saya dengar
bahwa cowok yang saya suka sudah tak lagi kerja di Jakarta. Ya. Dia minta
pindah kerja ke Medan. Di Bandara Kualanamu. Hancur sudah. Saya rasa kemaren
itu adalah hari dimana hati saya hancur sehancur-hancurnya. Disisi lain saya
masih sangat merindukannya dan ingin bertemu untuk terakhir kalinya, sambil
kasih bunga atau cokelat atau gudeg sama tumisan kangkung *enggak lah ya*. Tapi
demi Alloh SWT, ini kali pertama saya bisa mencintai orang dengan begitu tulus
dan begitu bahagia meskipun saya tak pernah dianggap. Benar. Sudah sejak 2013
saya menyukainya, kebayang kan sekarang 2017. Yang saya heran, saya juga gak
pernah ngapa-ngapain sama cowok ini tapi kenapa saya bisa begini. Saya gak tau
sama sekali. Kalo bisa, udah dari dulu saya pengen hidup normal *lah emang
sekarang gak nornal* bukan gitu, maksudnya ya biasa aja gitu lho. Saya udah
lama gak chatting sama dia. Saya berusaha menghapus semua kontak sosial media
tentang dia tapi tetap saja gak bisa lupa. Alay. Ya emang alay kali ya atau apa
saya juga gak paham. Sebut saja namanya Adi (nama samaran), atau Budi juga
boleh terserah deh mau manggil apa yang jelas itu hanya nama samaran aja. Saya gak
berani nyebut namanya takutnya dia baca, terus gak lama kemudian dia nelpon
saya dan jadi benci saya. Enggak mau.
Saya bertekad *ceilehhh gak cocok banget. Saya mutusin
buat tetap suka sama dia sampai hati saya lelah selelah-lelahnya dan hancur
sehancur-hancurnya. Buat yakinin diri kalo saya gak suka sama dia pun itu gak
bisa malah makin sayang jadinya. Sampai
suatu hari saya berfikir, jika suatu saat nanti saya dan dia dipertemukan
kembali dengan keadaan yang berbeda (dia udah duda misalnya) dan saya masih
sendiri, saya tetap mau bersama dia. Untuk berada dalam fase ini setiap hari
saya coba memperbaiki diri mulai dari bertutur dan bertindak. Sampai saya
merasa menjadi bukan diri saya. Tapi tak apa, kalo dibiasakan kan mungkin akan
lebih baik. Saya pengen banget denger suaranya, pengen tanya kabarnya, pengen
tau warna kesukaannya, makanan favoritnya, film kesukaannya. But I know it just
a big dream. Yeah, I am dreaming too big. Saya yakin pas saya dulu bilang
sayang sama dia, dia langsung ill feel da pengen loncat dari lantai 5 Kampus
BSI Cengkareng.
Kenapa gak bisa dia juga bilang sayang. Padahal sayang
itu bukan berarti harus jadian kan. Saya mungkin waktu itu gak ada akal sehat sama
sekali, suhu badan tinggi dan mungkin harus dikasih segelas air putih yang udah
dikasih doa dari ustadz. Disisi lain, saya juga gak mau menanggung perasaan ini
sendirian. Semuanya terasa mimpi. Saya berusaha mencoba mengungkapkan apa yang
dirasa kepada ibu saya. “Bu, aku merindukannya, aku semakin merindukannya
*sambil bercucuran air wudhu air mata*, Adi (nama samaran) sedang umroh
bersama ibunya, dan kudengar dia sudah tidak kerja lagi di Jakarta. Semakin
jauh kan bu?”
Dengan nada haru, ibu
saya bilang “Mau jauh ataupun dekat kalo bukan jodoh, mau bagaimana?”
Ketika itu saya
menangis tapi saya yakin ibu saya gak tau karena saya menangis lewat telepon.
Yang saya tangisi adalah keberadaannya yang semakin jauh. Kami berada di satu
kota pun sudah 2 tahun tidak bertemu. Apalagi sekarang beda pulau. Dia di
Sumatera, saya di Pulau Jawa. Itu yang saya tangisi. Bukan masalah jodoh atau
enggak. Padahal saat itu (saat saya bilang saya menyayanginya) saya bukan mau
dia jd pacar saya, saya waktu itu cuma pengen dia bilang “Terima kasih sudah
sayang sama saya”. Udah. Cuma itu yang pengen aku dengar. Bukan “Kita jadian
yuk”. Sama sekali bukan itu. Saya berharap jika masih diberi kesempatan, saya
pengen peluk dia seerat-eratnya. And say “I love you, for a long time”.
Sekarang sudah tahun 2017. Bukan satu dua kali saya coba
move on dari dia, sudah berkali-kali dan gagal. Sedetik pun tak bisa hilang
dari ingatan. Namanya dan raut senyumnya *elahhhh*. Mulai dari menghapus
facebooknya, blokir facebooknya, di unfriend dan segala macem. Sudah pernah,
tapi malah balik lagi. Dulu sekitar tahun 2015 an, saya waktu itu dengar dia
sudah punya pacar, pacarnya cantik dan sangat mirip dengan dia. Jangan tanya
perasaan saya saat itu yang jelas saya hancur sehancur-hancurnya. Hancur. Beberapa
waktu kemudian saya hapus akunnya dari facebook saya. Saya pikir, saya gak bisa
begini terus saya harus liat kedepan, harus melanjutkan hidup seperti biasa. Kalo
menghapus akunnya bisa menghilangkan rasa sakit hati bahkan kecewa. Saya pikir
gampang. Ternyata gak bisa. Beberapa bulan kemudian saya mencoba membuka blokir
akun fb tentang dia. Ya. Tak lama kemudian, ada permintaan pertemanan dari Adi
ini (nama samaran). Oke saya belum mau menerima permintaan pertemanan, saat itu
saya hapus dan saya berpikir, jangan dia yang meminta pertemanan, oke saya
saja. Sayalah yang meminta pertemanan dengannya. Oke. Ohiya satu lagi, selama
gak berteman dengan dia, saya gak merasa kehilangan dan gak penasaran juga apa
yang dia lakukan, tapi otak saya gak bisa lupain dia. Astaghfirullohaladzim.
Setelah dikonfirmasi, saya coba stalking facebooknya. Gak
ada yang aneh. Semuanya biasa saja. Hingga akhirnya saya sadar ada yang berbeda
di akunnya. Ya, photo sama pacarnya udah pada gak ada. Alias putus. Saya bukannya
seneng saya malah kepo. Ya penyebab putus pasti dari salahsatu pihak lah. Saya mikir,
ini dianya apa ceweknya yang berulah. Oke, gak mau tau saya. Saya Cuma jalanin
hari dengan sewajarnya, berharap menemukan pengganti dia. Meskipun sampai detik
ini saya sama sekali belum bisa melupakan. Cinta atau apa ini? Kok kayak
kutukan... setiap detik saya memohon pada semesta supaya bisa melupakan dia,
hanya namanya... kumohon hilangkan namanya...
*tiba-tiba petir
menyambar*